Tuesday, May 20, 2008

Timor Leste

Tadi baca dimana gituh tentang peringatan kemerdekaan Timor Leste. Ah, sudah enam tahun aja tuh negara tetangga. Inget kemerdekaan Timor Leste, jadi inget dulu jaman ke Dili. Tapi bukan pas kemerdekaannya. Pas Pemilunya. Pemilu Presiden pertama Timor Leste yang mempertemukan dua kandidat, Xanana Gusmao dan Francisco Xavier do Amaral.

Suasana Timor Leste waktu itu masih dikomandoi UNTAET, lembaga PBB untuk pemerintahan sementara Timor Leste di bawah pimpinan Sergio Vieira de Mello. Sekarang Sergio sudah almarhum, kena ledakan bom waktu tugas sebagai perwakilan PBB di Baghdad, Irak. Aku kesana dalam rangka pelatihan. Berdua temenku, aku di bagian redaksi, temenku ngurusin pelatihan tekniknya. Tiga minggu kami disana, mengikuti denyut kehidupan Timor Leste yang baru kali itu aku kunjungi.

Panas, kering, dingin, begitulah yang kurasakan waktu awal sampe Dili. Perjalanan ke Dilipun bukan kulalui langsung pake pesawat. Tapi lewat jalur udara, darat sampe jalan kaki. Iya, jalan kaki. Kenapa bisa begitu, ngga lain karena bulan itu adalah masa Pemilu Presiden pertama di Timor Leste, maka berbondong-bondonglah jurnalis kesana. Seingetku, Pemilu dilaksanakan sekitar tanggal 14 atau 15 April 2002 lah. Nah, mulai tanggal 01, pintu masuk ke Timor Leste sudah ditutup. Pemilu pertama untuk sebuah negara baru yang masih di bawah kepemimpinan PBB, jadi satu sejarah besar.

Mungkin pesen pesawat mepet atau gimana waktu itu, kami hanya dapet pesawat Jakarta-Kupang. Sementara pesawat yang ke Dili sudah fully booked sampe batas waktu masuk Dili berlaku. Yawis, kami berdua melewati perjalanan lewat Kupang. Nginep semalem disana, sekalian pesen mobil carteran lewat temen yang di radio jaringan, besoknya baru kami mulai perjalanan menembus Kupang hingga perbatasan Dili. Waktu awal dikasi tau sih, perjalanan bakal makan waktu sekitar 6 jam. Waakkss.. Jauh juga yah. Dan nyatanya, jarak kedua kota itu memang jauuuuuhhh banget. Mobil carteran kami Timor kalo ndak salah. Nyaris selalu melaju di kecepatan sekitar 80-100 km/jam. Sopirnya jago banget lah sama jalanan yang meliuk-liuk. Dia bilang sih, di beberapa titik, kendaraan mesti ngebut, menghindari berbagai kemungkinan. Ah, bikin senewen aja tuh pak sopir, hehehe. Perjalanan yang ngebut itu aja butuh waktu sekitar 6 jam. Gimana kalo mobilnya lebih lambat yah..

Perbatasan Dili tempat tujuan akhir carteran kami adalah Mota Ain. Wah, serem juga ngeliatnya. Bukan apa-apa. Rasanya kaya di daerah terpencil gituh. Banyak polisi berjaga-jaga. Polisi Indonesia tentu saja karena wilayah ini masih masuk RI. Sekitar dua ratus meter dari pos jaga polisi, itulah tanah Timor Leste yang sudah menjadi negara sendiri meski waktu itu belum merdeka. Semua yang mau ke Timor Leste, sampai di batas ini udah ga boleh pake kendaraan apa aja. Jadi kami akan menyeberangi batas negara dengan jalan kaki!!.

Setelah koperku diaduk-aduk polisi yang jaga, kami ke kantor imigrasi. Ga lama beres, langsung deh kami dibolehkah melewati perbatasan. Untuk mbawa barang-barang, ada semacam porter, anak-anak muda yang menawarkan diri mbawain segala bawaan yang bejibun ini. Bukan cuma dipanggul, tapi diantara mereka ada yang bawa gerobak, hehehe.. Perbatasan NTT dan Timor Leste adalah sebuah jembatan. Pas lewat jembatan itu, aku dan temenku bergantian foto. Uuuuhhh.. ini pastilah saat bersejarah karena belum tentu kami akan lewat jalan ini lagi to dengan berjalan kaki. Duh, tapi kemana ya foto bersejarah itu, hukhukhuk..

Lewat dari perbatasan, kantor imigrasi Timor Leste yang pertama dituju. Dari jauh, udah banyak tuh anak-anak muda yang nawarin formulir isian. Seingetku sih mereka sudah pasang harga pake dollar ya, hehehe.. Ada juga yang menawarkan diri untuk ngisiin secara kita masih ngos-ngosan abis jalan kaki. Setelah beres, kami sudah ditunggu pos penjagaan. Kali ini yang jaga polisi dan tentara PBB. Mereka dari berbagai negara, cuma dikenali dari bendera negara masing-masing yang ditempel di lengan seragam PBB mereka. Paspor dan koper diperiksa lagi, diaduk-aduk lagi. Ah, sudahlah, isi koper yang sudah rapi ditata sejak dari Jakarta, pasrah deh diberantakin. Ffuuiihh.. Setelah lepas dari bapak-bapak nan gahar itu, barulah kami bertemu dengan penjemput kami.

Perjalanan belum berakhir. Dari kota perbatasan yang daku lupa namanya (ntar yah dicari di google), kami naik angkot yang sudah disiapkan temen-temen penjemput. Aku milih duduk di depan, di sebelah sopir. Yang njemput kami sekitar empat orang lah. Perjalanan darat pun dimulai lagi. Tahukah brapa lama lagi untuk masuk kota Dili? Enam jam lagi Sodara-sodara!! Enam jam lagi kami duduk di mobil, menikmati pemandangan Timor Leste. Sepanjang perjalanan, bentangan laut ada di sebelah kiri dan sebelah kanan, tebing tinggi nan terjal. Jalanan meliuk-liuk, sepi, cuma sesekali kami ketemu dengan mobil-mobil PBB yang ukurannya segedhe gambreng. Jalanannya pun ga terlalu rame. Kawasan penduduk ngga selalu kami temui. Jarak satu lokasi ke lokasi lainnya kadang berjauhan. Hhhhmmm.. demi melihat pemandangan itu, baru kutau Timor Leste yang sebenernya.

Nyaris semua rumah penduduk sudah dipasangi poster kandidat Presiden yang akan berlaga dalam Pemilu pertama. Entah mereka tau atau tidak dengan kandidat ini. Warga yang tinggal di daerah pinggir Timor Leste ini kebanyakan masih berpakaian tradisional. Anak-anaknya banyak yang bertelanjang dada. Nyaris semua rumah dipenuhi dengan ayam, anjing dan babi. Satu pemandangan baru lagi buatku, hehehe..

Memasuki kota Dili, hari sudah beranjak malam. Kami memulai perjalanan dari Kupang sekitar jam 7 pagi. Jam 7 malam pula kami sampai Dili. Sebagai ibukota, kota ini lebih rame dibanding daerah yang kami lalui sebelumnya. Hhhhmm.. Dili, kami datang..

0 comments: